Belajar dari Tragedi Ekologis Sumatera: Tambang dan Tata Kelola Lingkungan Harus Berkeadilan!

Kerusakan Infrastruktur akibat bencana ekologis Sumatera

Belajar dari Tragedi Ekologis Sumatera: Tambang dan Tata Kelola Lingkungan Harus Berkeadilan. Penulis: Sri Nawang Andriyanti

BANJIR besar yang melanda beberapa wilayah Sumatra akhir-akhir ini kembali menempatkan aktivitas pertambangan di bawah sorotan publik. 

Banyak laporan lapangan menunjukkan bahwa sebagian daerah terdampak memiliki konsentrasi izin tambang dan area terbuka yang cukup besar. 

Kondisi ini memicu diskusi luas tentang bagaimana tata kelola pertambangan di Indonesia berperan dalam meningkatkan atau memperburuk kerentanan lingkungan terhadap bencana. 

Situasi tersebut mengingatkan kita bahwa persoalan bencana alam tidak hanya berkaitan dengan tingginya curah hujan, tetapi juga struktur pengelolaan sumber daya yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Kasus-kasus pertambangan yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir semakin memperkuat urgensi perbaikan tata kelola. Salah satunya adalah pencabutan izin empat perusahaan tambang di kawasan konservasi Raja Ampat, Papua Barat, yang dianggap tidak memenuhi standar perlindungan lingkungan. 

Keputusan itu dipuji banyak pihak sebagai langkah tegas untuk menjaga kawasan sensitif dari kerusakan ekologis lebih lanjut. Di sisi lain, pemerintah juga menghentikan operasi hampir dua ratus perusahaan tambang yang gagal memenuhi kewajiban reklamasi dan pascatambang. 

Tindakan ini menunjukkan bahwa masalah utama sektor tambang bukan pada keberadaannya, melainkan pada lemahnya kepatuhan terhadap aturan serta pengawasan yang tidak konsisten.

 Di Bangka Belitung, risiko longsor di area bekas tambang timah juga terus menjadi ancaman serius, terutama saat musim hujan, karena struktur tanah yang telah kehilangan daya dukung alaminya. Berbagai peristiwa ini memperlihatkan pola yang sama: operasi tambang yang tidak disertai pemulihan lingkungan memperbesar risiko bencana di kemudian hari.

Namun, penting juga untuk melihat sisi yang jarang disorot publik. Di banyak daerah, sektor pertambangan berperan besar bagi perekonomian lokal, terutama sebagai penyedia lapangan kerja, penggerak UMKM, dan pembangun infrastruktur dasar. 

Hal ini menjadi alasan mengapa penghentian total aktivitas tambang bukanlah solusi realistis. Justru karena tambang memiliki dampak ekonomi besar, pengelolaannya membutuhkan standar yang jauh lebih ketat dan pengawasan yang tidak dapat ditawar. 

Beberapa perusahaan tambang sebenarnya mulai berupaya menerapkan praktik yang lebih bertanggung jawab, seperti rehabilitasi daerah aliran sungai, penanaman kembali vegetasi, pembangunan kanal resapan, hingga pemantauan kualitas lingkungan yang melibatkan masyarakat sekitar. 

Langkah-langkah seperti ini memang tidak selalu viral seperti kasus-kasus negatif, tetapi menjadi bukti bahwa perubahan ke arah pertambangan yang lebih berkelanjutan sebenarnya sangat mungkin diwujudkan.

Banjir Sumatra seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar ajang saling menyalahkan. 

Pemerintah perlu memperkuat transparansi perizinan, melakukan evaluasi komprehensif di kawasan rawan bencana, serta memastikan reklamasi dilakukan sebagai kewajiban nyata, bukan sekadar formalitas laporan. 

Perusahaan tambang juga harus melihat keberlanjutan sebagai kebutuhan dan investasi jangka panjang, bukan beban tambahan. 

Sementara itu, masyarakat berperan penting dalam mengawasi dan menyuarakan kondisi lapangan, terutama di era digital yang memungkinkan arus informasi bergerak lebih cepat dan lebih luas.

Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari pertambangan, karena sektor ini telah menjadi bagian penting dari struktur ekonomi nasional. 

Namun kita bisa, dan harus, memastikan tambang dikelola dengan prinsip yang berkeadilan untuk lingkungan dan masyarakat. 

Jika regulasi ditegakkan tegas, perusahaan memprioritaskan keberlanjutan, dan masyarakat diberi ruang terlibat dalam pengawasan, maka sektor tambang dapat menjadi kekuatan positif yang mendukung pembangunan tanpa harus mengorbankan keseimbangan alam.

Banjir Sumatra memberi kita peringatan keras, tetapi juga kesempatan: bahwa tata kelola tambang yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan berpihak pada keselamatan lingkungan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Penulis: Sri Nawang Andriyanti


Baca Juga: Menganal Sekolah Garuda


0 Komentar