Komersialisasi Pendidikan dan Salah Kelola SDA Indonesia

Komersialisasi Pendidikan 

LAPENMI.ID
- Indonesia yang terkenal kaya akan sumber daya alam (SDA) ketika dikelola dengan dengan baik. Bisa dipastikan mampu mengatasi persoalan baik ekonomi, pendidikan,dan lain sebagainya.


Akan tetapi pengelolaan sumber daya alam yang tidak produktif sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh negara bertentangan dengan asas keadilan.


Dalam hal ini kita dipertontonkan dengan terjadinya Komersialisasi Pendidikan yang kian menjadi salah satu faktor terhambatnya seseorang untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.


Pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk memperoleh keuntungan baik individual maupun kelompok. 


Kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sangat bertentangan dengan grundnorm/pancasila.


Dimana tidak ada asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini bisa dilihat dari mahalnya biaya pendidikan.


Baca Juga: Guru Besar UNAIR Narasumber Dialog Nasional LAPENMI PB HMI


UKT di PTN yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, itupun tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan.


Hal ini tidak sejalan dengan Salah satu dari empat amanat konstitusi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. 


Namun, biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa semakin melangit. Apakah pemerintah masih menjalankan perintah konstitusi?


Seharusnya sudah menjadi tugas negara memberikan fasilitas terbaik untuk pendidikan juga biaya pendidikan yang serendah-rendahnya.


Akan tetapi fakta dan realitanya berbeda, fasilitas yang kurang efektif dan biaya pendidikan yang meroket.


Hal Ini merupukan suatu permasalahan yang sangat pundamental yang mana imbasnya di rasakan lansung oleh rata-rata siswa maupun mahasiswa.


Dilihat dari banyaknya keluhan mahasiswa terkait UKT yang semakin tinggi.


Bahkan lebih mirisnya lagi banyak mahasiswa maupun siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena terhambat oleh biaya pendidikan yang tinggi. 


Apakah memang biaya pendidikan itu per tahunnya naik? Sudah jelas Berdasarkan Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015, UKT merupakan biaya kuliah yang dibebankan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. 


Tjitjik selaku sekretaris direktorat jenderal (Kemendikbudristek) menjelaskan alasan UKT kian mahal, yaitu karena mempertimbangkan biaya operasional yang ditanggung oleh perguruan tinggi. 


Biaya itu meliputi alat tulis kantor (ATK) hingga upah bagi dosen non-pegawai negeri sipil (PNS).


Hal yang menjadi titik sentral yang menimbulkan kerancuan  yaitu Berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD 1945, alokasi anggaran pendidikan yaitu 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). 


Sekjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Suharti mengatakan, belanja negara berdasarkan Perpres No 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024 adalah sebesar Rp 3.325 triliun.


Sebanyak 20 persen di antaranya atau Rp 665 triliun digunakan untuk anggaran fungsi pendidikan. Seharusnya dengan anggaran sebanyak itu paling tidak biaya pendidikan gausah di gratiskan, minimal UKT di turunkan bukan malah dinaikkan.


Beasiswa Tidak Tepat Sasaran


APBN untuk Anggaran Pendidikan sebesar Rp 665 triliun Dialokasikan Kemana? Beasiswa? Berdasarkan data penyaluran APBN untuk beasiswa yaitu pertama program beasiswa dari (Kemendikbudristek) sebanyak 38.913 penerima, Kedua, beasiswa Kementerian Agama (Kemenag) sebanyak 26.575. 


Ketiga, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebanyak 7.605 orang yang terus dalam penghitungan hingga saat ini. 


Jika memang dengan banyaknya beasiswa yang disalurkan kemudian dijadikan alasan naiknya UKT memang masih masuk akal karena otomatis beasiswa itulah yang digunakan untuk bayar UKT tersebut.


Akan tetapi beasiswa yang di salurkan bisa dikatakan salah penempatan dan tidak merata, rata -rata penerima beasiswa berlatar belakang orang yang mampu secara finansial.


Sehingga mereka yang berlatarbelakang kurang mampu harus menerima resiko yang sedemikian rupa mulai dari ancaman DO, tidak dapat melanjutkan sekolah dan lain sebagainya.


Pendidikan sekarang ini sudah tidak sejalan dengan semboyan Bapak pendidikan, Kihajar Dewantara dalam semboyannya mengatakan, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.


Artinya, apabila di depan memberi teladan, apabila di tengah memberi ilham (inspirasi), apabila di belakang memberi dorongan". 


Hilangnya Semangat Mencerdaskan Kehidupan Bangsa


Bukannya memberi teladan, inspirasi maupun dorongan, malah menyengsarakan rakyat, bahkan Sekretaris Direktorat Jenderal Kemendikbudristek dalam rapat kerja komisi X DPR RI pada Selasa, 21 Mei 2024 mengeluarkan pernyataan bahwa Perguruan tinggi merupakan kebutuhan tersier.


Terdengar sangat miris, seharusnya pendidikan merupakan kebutuhan primer/pokok  dan fundamental.


Seharusnya dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat, karna pada dasarnya kihajar Dewantara sebagai Bapak pendidikan memang memberikan pendidikan secara gratid pun juga bangsa yang maju ditentukan oleh kualitas SDMnya.


Dengan tingginya UKT di perguruan tinggi negeri (PTN) secara tidak langsung menutup jalan bagi masyarakat.


Demi untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dan secara tidak langsung yang dapat menempuh perguruan tinggi adalah mereka yang berasal dari kalangan  kapitalis. 


Ideologi tertinggi dalam negara Republik Indonesia adalah Pancasila, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. 


Bahkan presiden pun bisa dihukum ketika kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.


Penulis: Wahyudi

*Direktur Eksekutif LAPENMI HMI Cabang Jakarta Barat

0 Komentar