Iceberg Analysis: Tantangan & Prospek NDP HMI di Era Digital


Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan manifestasi ideologis dari cita-cita keumatan dan kebangsaan yang melandasi gerakan. Masuknya kita ke era digital saat ini ditandai oleh beberapa hal seperti disruptive technology, overload information, dan krisis otoritas pengetahuan. Keadaan ini menuntut pembacaan ulang terhadap prospek NDP itu sendiri. 

Sejauh mana nilai-nilai ideologis NDP dapat menjadi kompas dalam melihat mata angin dalam realitas digital yang terus berubah ini?

Gejala Permukaan: 

Apatisme, Kritik Kosong, dan Minim Literasi Digital

Gejala permukaan seperti apatisme kader terhadap dinamika organisasi dan lemahnya literasi digital bukanlah sekadar masalah individual atau teknis. Gejala ini merupakan symptom dari problem struktural dan kognitif yang lebih dalam. Apatisme yang muncul dalam diri sebagian kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mencerminkan terjadinya desinkronisasi antara orientasi nilai yang ditanamkan melalui Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dengan realitas zaman yang kini serba digital, cepat berubah, dan penuh distraksi.

Dalam kerangka Teori Alienasi, manusia akan mengalami keterasingan (alienasi) ketika mereka kehilangan hubungan dengan hasil kerja, dengan proses kerja, dengan sesama manusia, dan pada akhirnya dengan kodratnya sendiri. Analogi ini dapat ditarik ke dalam konteks kader HMI yang menjalani aktivitas keorganisasian sepeti dalam aktivitas membaca, berdiskusi, dan mengikuti perkaderan tetapi tidak merasakan relevansi langsung dengan kehidupan aktual kader yang dipenuhi tantangan digital, disinformasi, dan krisis nilai. Sebagian Kader HMI seakan terasingkan dari gerakan, karena gerakan tidak lagi menghadirkan titik eksistensial yang menyentuh ruang kehidupan sehari-hari.

Apatisme ini juga kemudian tidak hanya hadir dalam bentuk ketidakpedulian, tapi juga dalam bentuk kritik-kritik kosong yang tidak berbasis pada analisis mendalam. Kritik yang cenderung bersifat reaksioner dan instan, karena kehilangan basis epistemologis yakni fondasi pengetahuan yang dibangun melalui bacaan, diskusi, dan proses berpikir reflektif.

Pola dan Tren:

Minim Literasi, Kurang Kritis dan Pemikiran Dangkal

Memasuki era digital, pola interaksi, belajar, dan berpikir kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengalami transformasi yang begitu signifikan. Perubahan ini bukan hanya bersifat teknologis, tetapi juga menyentuh dimensi epistemologis dan kultural dari cara kader memahami dunia dan menjalani proses kaderisasi. Arus informasi yang begitu melimpah, instan, dan tidak terkurasi yang disebut sebagai information overload telah menggeser fondasi cara kader mengakses pengetahuan, menyampaikan gagasan, dan membangun kesadaran kolektif.

Pola konsumsi informasi bergeser dari teks panjang dan mendalam ke konten singkat, visual, dan audio-visual yang cepat dikonsumsi. Budaya membaca yang dulunya menjadi ruh tradisi intelektual HMI perlahan tergeser oleh budaya scrolling dan sharing. Kader kini lebih banyak terpapar oleh potongan-potongan narasi tanpa kerangka berpikir yang utuh, yang akhirnya membentuk pola berpikir yang reaktif, responsif sesaat, namun minim refleksi. Dalam konteks ini, tren digital tidak hanya menawarkan kemudahan, tetapi juga membawa risiko kemunduran daya kritis apabila tidak diiringi oleh literasi digital yang memadai.

Budaya berpikir reflektif dan mendalam yang selama ini menjadi kekuatan utama kaderisasi HMI perlahan melemah, tergantikan oleh budaya instant response yang miskin basis epistemologis. Akibatnya, dalam menghadapi isu-isu kebangsaan, keumatan, atau bahkan dinamika internal organisasi, kader lebih banyak menunjukkan respons reaktif ketimbang narasi alternatif yang visioner.

Lebh jauh, tren ini turut menimbulkan ketimpangan dalam kualitas diskursus antar kader. Kader yang memiliki akses dan literasi digital yang lebih baik cenderung dominan dalam wacana, sementara yang lain tertinggal dan terkucil dari ruang diskusi digital. Hal ini menciptakan jurang intelektual baru di tubuh HMI yang dapat mengancam kohesi ideologis dan tujuan kolektif organisasi.

Struktur:

Regenerasi Kaku dan Kegiatan Tidak Kontekstual

Struktur organisasi yang stagnan menjadi salah satu penyebab utama munculnya gejala permukaan seperti apatisme, lemahnya literasi digital, dan dangkalnya diskursus. Stagnasi ini tercermin dalam pola regenerasi kader yang cenderung prosedural dan formalistik. Proses kaderisasi lebih banyak menekankan pada pemenuhan tahap administratif dan seremonial, ketimbang menjadi ruang pembacaan kritis atas realitas sosial-politik dan kultural yang sedang berlangsung. Alhasil, kader yang dilahirkan oleh sistem seperti ini cenderung menjadi “kader mekanis” yakni kader yang menjalankan tugas hanya karena keharusan struktural, bukan karena kesadaran ideologis atau misi transformasional.

Masalah utama di sini adalah terputusnya dialektika antara nilai, struktur, dan konteks zaman. Regenerasi tanpa proses pemaknaan ulang akan membuat organisasi seperti HMI kehilangan daya adaptasi dan inovasinya. Selain itu, kegiatan keorganisasian, baik dalam bentuk bastra, follow up, kajian, diskusi, atau tradisi intelektual lainnya, pun cenderung meniru pola-pola lama tanpa adaptasi terhadap realitas baru. Padahal, kader hari ini adalah generasi digital-native yang tumbuh dalam kultur teknologi, media sosial, dan informasi instan. Untuk itu, kader tidak hanya membutuhkan ruang berkumpul, tetapi juga ruang eksplorasi ide dan aktualisasi dalam dunia digital.

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah rendahnya integrasi antara NDP dan keterampilan zaman. Banyak kader yang memahami konsep ideal dalam NDP, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk mengeksekusinya dalam bentuk program yang kreatif dan relevan secara digital. Akibatnya, kader terjebak dalam tension yakni antara idealisme yang luhur dengan realitas organisasi yang tidak adaptif. Hal ini menimbulkan frustasi, apatisme, bahkan eksodus diam-diam dari dinamika organisasi.

Kondisi ini menunjukkan bahwa stagnasi struktur bukan hanya soal manajemen kaderisasi, tetapi menyangkut soal paradigma berpikir organisasi secara keseluruhan. Tanpa perubahan mendasar dalam cara struktur memahami zaman dan menyambungkan nilai dengan praksis, maka HMI akan terus mengalami crisis of relevance yakni krisis kebermaknaan.

Mental Model Kader:

Literal, Dogmatis dan Tidak Dinamis

Lapisan terdalam dari fenomena stagnasi gerakan kaderisasi HMI terletak pada pola pikir (mental model) yang dibentuk, diwariskan, dan dipertahankan dalam budaya organisasi. Inilah fondasi tak kasat mata yang menggerakkan perilaku, keputusan, bahkan arah kebijakan dalam organisasi. Pola pikir yang tidak berubah akan terus melanggengkan praktik-praktik lama meskipun realitas sosial telah mengalami transformasi besar.

Masih banyak kader yang memahami NDP secara literal, dogmatis, dan tidak dinamis. Kader membaca NDP seperti teks suci yang statis, padahal dalam kerangka hermeneutika filosofis, setiap teks sejatinya adalah entitas yang hidup dan maknanya senantiasa berubah dan harus ditafsir ulang berdasarkan konteks historis, sosial, dan pengalaman konkret pembacanya. 

Dalam konteks ini, NDP mestinya bukan hanya dibaca, tetapi dikontemplasikan dan dihidupkan dalam relung kehidupan kader hari ini yang terhubung dengan dunia digital, krisis ekologi, ketimpangan ekonomi, dan politik identitas.

Tak hanya itu, masalah besar muncul ketika pola pikir konservatif dalam memahmi NDP justru dijadikan standar dalam kaderisasi dan kepemimpinan. Inovasi dianggap ancaman, bukan kebutuhan. Kader yang mencoba mengkontekstualisasikan NDP dalam konteks digital activism, e-literacy, atau platform advocacy sering kali dianggap “keluar jalur” atau “kurang ideologis”. 

Ini menciptakan iklim keorganisasian yang tidak sehat yang membunuh kreativitas, menghambat keberanian eksperimentasi, dan mempersempit medan perjuangan kader hanya pada bentuk-bentuk konvensional seperti demonstrasi fisik atau forum diskusi yang tidak lagi menyentuh ekosistem digital tempat kaum muda hari ini membangun pengaruh dan makna.

Akar Refleksi: 

Jalan Pulang Menuju Otentisitas Gerakan

Akar dari segala kegelisahan yang dialami kader hari ini sejatinya berakar pada keterputusan antara makna dan praksis. Nilai-nilai dasar seperti iman, ilmu, dan amal dalam NDP tidak kehilangan relevansi, begitu juga ketika yang hilang adalah jembatan penafsiran yang menghubungkannya dengan dunia digital, hiperrealitas informasi, dan kompleksitas zaman. Pada titik inilah semestinya dihadirkan ruang refleksi ontologis. 

Siapa sejatinya kader HMI di era digital ini? Apakah ia sekadar pewaris teks, atau pelanjut makna yang hidup dan bergerak?

Kader HMI bukan hanya manusia berteks, tetapi manusia yang berada dalam dunia digital dan karenanya, ia harus mengaktualisasi nilai NDP bukan di ruang arsip atau forum-forum ceramah saja, tetapi dalam arena digital, tempat ide dan pengaruh berseliweran tanpa sensor nilai.

Kesadaran kritis pun menegaskan bahwa pendidikan (dalam hal ini proses perkaderan) seharusnya membangkitkan subjek yang sadar akan struktur kuasa dan pengetahuan yang membentuk kesadarannya. Tanpa proses ini, kader akan hanyut dalam romantisme perjuangan masa lalu tanpa memiliki alat untuk membaca ketimpangan baru yang tersembunyi di balik layar smartphone dan logika algoritma. Sebagai kader, kita tidak akan peka terhadap bentuk baru kolonialisme digital, surveillance capitalism, atau eksploitasi data personal yang menjadi wajah kontemporer dari ketidakadilan.

Oleh karena itu, jalan pulang ke otentisitas gerakan bukanlah kembali ke masa lalu, tetapi kembali ke nilai dengan cara yang baru. Membangun literasi digital dalam kerangka NDP adalah upaya menghidupkan kembali keberanian eksistensial untuk berpikir, bertindak, dan mencipta di zaman yang terus berubah. Kader tidak cukup hanya setia pada teks, tetapi juga harus berani mengkontekstualisasikan dan berani menggugat kemapanan demi menemukan makna baru dari perjuangan lama.

Ketika kader mampu menyandingkan NDP dengan semangat digital citizenship di mana iman menjadi etika bermedia, ilmu menjadi keberanian intelektual untuk memverifikasi dan memahami, serta amal menjadi partisipasi aktif dalam ruang digital yang penuh perlawanan maka saat itulah HMI tidak sekadar relevan, tetapi kembali otentik.

Andi Geerhand - Pengurus Bakornas LAPENMI PB HMI 

(Tulisan ini dibuat selama mengelola Training LK II HMI Cabang Wajo)

0 Komentar